Aceh, Ulama dan Religiusitas
Dalam perjalanannya pada masa silam, Aceh memiliki dinamika sosial-politik yang cukup tinggi, hingga pada akhirnya UU No. 44/1999 tentang Status Keistimewaan Aceh lahir sebagai salah satu instrumen resolusi. Apabila kita buka kembali undang-undang keistimewaan Aceh dimaksud, kita mungkin mendapatkan kesan tentang pentingnya sisi religiusitas dalam kehidupan rakyat Aceh. Bagi rakyat Aceh, religiusitas telah berperan sebagai sumber ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme yang kukuh, dan religiusitas pula yang telah menempatkan ulama memiliki peran yang terhormat. Dengan demikian, saya melihat bahwa religiusitas pula yang pada akhirnya menjadi dasar pertimbangan diperlukannya jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan di Aceh sebagai sebuah daerah istimewa.
Keistimewaan merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada sebuah daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral, dan kemanusiaan. Keistimewaan ini dapat diakomodir melalui pemberian kewenangan khusus untuk menyelenggarakan kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah. Kebijakan daerah ini dapat berupa Peraturan Daerah (Qanun) atau Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan. Dalam undang-undang ini, ulama diberikan ruang untuk memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami (hal ini dijelaskan pada Pasal 9 UU No. 44/1999 tentang Status Keistimewaan Aceh, dan kemudian diwujudkan dalam peraturan daerah/Qanun No. 2 tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Ulama).
Peran ulama yang cukup strategis ini tidak mengherankan bila kita kembali memutar sejarah Aceh pada abad VI Masehi, dimana diyakini bahwa Aceh merupakan salah satu wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam, dan kemudian menjadi sebuah kerajaan pada abad XIII Masehi hingga berkembang menjadi kerajaan yang maju pada abad XIV Masehi. Sejak masa itu, hingga saat ini, Islam nampaknya telah menjadi bagian integral dari masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh senantiasa tunduk pada ajaran Islam, dan senantiasa memperhatikan fatwa ulama (karena ulama merupakan ahli waris nabi). Penghayatan yang telah berlangsung lama ini melahirkan salah satu falsafah yang telah menjadi cerminan perwujudan syariah Islam dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, yaitu “adat bak Poteumeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak Laksamana”, yang memiliki makna “hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama”.
Realisasi Penerapan Syariat Islam
Setelah penerbitan UU No. 44/1999 tentang Status Keistimewaan Aceh, undang-undang lain yang lahir dalam rangka memperkuat keistimewaan Aceh adalah UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dan diperkuat dengan lahirnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Selama 1999 sampai 2006, telah banyak peraturan yang diterbitkan dalam rangka mendorong penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat Aceh, diantaranya Peradilan Syariat Islam, Pelaksanaan Syariat Islam di bidang aqidah, ibadah dan syiar Islam, larangan khamr, maysir, dan khalwat. Lalu kemudian, menyusul Qanun No. 4 Tahun 2014 tentang Pokok-pokok Syariat Islam, Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Qanun No. 8 tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal, dan qanun-qanun lainnya. Hal ini merupakan bukti konkrit bahwa komitmen pelaksanaan nilai-nilai Islam masih dibawa hingga kini di tengah semakin bervariasinya arus dan warna pemikiran yang ada.
Alur Pikir Qanun Lembaga Keuangan Syariah
Setelah mengingat kembali tentang sisi religiusitas Aceh yang menjadikan Islam sebagai nafas kehidupan rakyat, maka sebagaimana judul artikel ini, saya akan mencoba membantu para pembaca untuk memberikan gambaran tentang alur pikir lahirnya Qanun Lembaga Keuangan Syariah. Tentunya, saya tidak meng-claim bahwa tulisan ini merupakan representasi pemikiran dari para inisiator dan perumus awal qanun dimaksud, namun lebih merupakan pendapat penulis yang didasarkan pada amanah yang ada di tiap perundang-undangan atau peraturan yang terkait dengan ekonomi dan/atau keuangan.
Berikut alur pikir yang diawali dari UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Aceh, hingga terbitnya Qanun Lembaga Keuangan Syariah:
Alur Landasan Yuridis Penerbitan Qanun Lembaga Keuangan Syariah



Alur pikir ini tercipta sebagai hasil dari berbagai pertemuan dengan Prof. Dr. Nazaruddin A. W. sebagai salah seorang guru besar dan pakar ekonomi syariah, yang sedikit saya tambah dan modifikasi untuk memudahkan pemahaman para pembaca.
Apabila kita memperhatikan alur pikir yang muncul pada setiap kutipan undang-undang/peraturan daerah/fatwa ulama di atas, maka kita akan mendapati adanya satu semangat yang selaras, yaitu ada semangat untuk menciptakan tatanan ekonomi yang Islami dan praktek muamalah yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Apabila kita perhatikan secara detil -berdasarkan opini pribadi- saya mengajak para pembaca untuk berdiskusi sekaligus melihat urgensi dan esensi yang diharapkan di Aceh terkait ekonomi dan keuangan:
- Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama: Peran Strategis Ulama Aceh
Dalam kutipan beberapa pasal pada perundang-undangan di atas, kita melihat bahwa ulama memiliki fungsi strategis dalam memberikan rekomendasi terkait penetapan fatwa terkait perekonomian di Aceh. Pertanyaannya: mungkinkah ulama Aceh membiarkan umatnya terjebak pada perekonomian ribawi tanpa upaya apa pun? Tentu tidak. Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh telah memberikan ketetapan-ketetapan yang jelas terkait urgensi implementasi syariah Islam secara menyeluruh di Aceh sejak tahun 2013. Pada awal Oktober tahun 2018, Lokakarya MPU Aceh juga mengangkat tema “Koperasi Syariah, Antisipasi Riba dan Rentenir”, dengan ketetapan yang sejalan dengan semangat melaksanakan ekonomi dan keuangan syariah secara menyeluruh melalui penerbitan Qanun yang disusun oleh Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Pertanyaannya: Bagaimana cara menjalankan praktek ekonomi dan keuangan syariah secara menyeluruh sebagaimana rekomendasi yang telah diberikan oleh para alim ulama tersebut?
- Amanah Undang-Undang Pemerintahan Aceh
Dalam undang-undang ini, saya melihat adanya harapan agar syariah Islam dapat dilaksanakan di Aceh, termasuk didalamnya aspek muamalah. Pada pasal 155 ayat 1, jelas disebutkan bahwa perekonomian Aceh diarahkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.
Pertanyaannya: Bagaimana cara menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam membangun ekonomi Aceh ke depan? Apakah dengan membiarkan praktek ekonomi/keuangan berbasis riba tanpa adanya upaya yang serius untuk menghentikannya?
- Amanah Qanun Pokok-Pokok Syariat Islam
Pasal 20 ayat (1) disebutkan: Setiap orang beragama Islam yang berada di Aceh harus menjalankan muamalah sesuai dengan tuntunan syariat Islam, dan pada Pasal 20 ayat (3) disebutkan: “Pelaksanaan bidang muamalah di Aceh bebas dari maisir (judi), gharar (penipuan), tadlis (samar-samar), spekulasi, monopoli dan riba”.
Pertanyaannya: bagaimana menciptakan muamalah yang bebas riba? Apakah dengan membiarkan adanya dual banking system beroperasi di Aceh? Atau dengan mensyariahkan seluruh lembaga keuangan di Aceh?
Apabila kita kembali membaca beberapa kutipan pasal yang saya ambil (sebagaimana gambar di atas), mungkin akan lebih banyak lagi pertanyaan yang muncul untuk segera menjawab berbagai harapan dan amanah untuk menciptakan perekonomian dan keuangan yang Islami di bumi Serambi Mekkah. Kehadiran Qanun Lembaga Keuangan Syariah nampaknya telah menjawab sebagian besar harapan dan amanah tersebut.
Qanun LKS: Sebuah Jawaban dan Tantangan
Berikut beberapa poin yang dapat kami tulis mengenai landasan filosofis dan sisi positif yang diharapkan dari penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah:
- Pertimbangan penerbitan Qanun ini diawali pada landasan filosofis yang menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai dasar pegangan hidup masyarakat Aceh. Larangan Al-Quran terkait praktek riba sudah sangat jelas dan tegas yang diungkapkan dalam QS Ar-Rum ayat 39, QS An-Nisa 160:161, QS Ali Imron 130, dan QS Al Baqarah 275, 276, 278, 279. Beberapa hadis Rasulullah SAW yang terkait dengan riba juga telah menginformasikan bahwa ia tergolong dalam 7 dosa besar dan tidak terampuni, dan ada pula hadis yang menyampaikan besarnya dosa riba setara dengan 36 kali berzina, dan yang paling rendah seperti menzinai ibu kandung sendiri.
- Qanun ini berlaku untuk muslim yang tinggal di Aceh, dan setiap orang/badan hukum yang melakukan transaksi keuangan di Aceh. Selain itu, Qanun ini juga berlaku untuk LKS yang menjalankan usahanya di Aceh atau LKS di luar Aceh yang berkantor pusat di Aceh. Di Aceh, diprediksi ada sekitar 2% umat beragama lain (selain Islam) yang dapat menundukkan diri dalam Qanun ini. Namun ketika umat beragama lain tersebut melakukan transaksi keuangan dengan Pemerintah Aceh, maka ia wajib tunduk pada Qanun ini. Apabila ada seorang muslim yang bertransaksi keuangan dengan umat beragama lain, maka muslim tersebut wajib mengikuti Qanun ini. Dengan pola seperti ini, maka upaya menciptakan perekonomian Aceh dengan tata keuangan yang Islami merupakan sebuah keniscayaan.
- Tujuan Lembaga Keuangan syariah yang lebih jelas dan terarah. Pada Pasal 5a, diharapkan lembaga keuangan syariah dapat mewujudkan perekonomian Aceh yang islami. Hal ini seiring dengan terus meningkatnya fitur dan layanan perbankan (hal ini telah diulas dalam dua artikel sebelumnya).
- Bank syariah ditantang untuk mencapai rasio pembiayaan kepada UMKM sebesar 30% di tahun 2020, dan 40% di tahun 2021 (Pasal 14 ayat 4). Berdasarkan data bulan Juni 2020, pembiayaan perbankan syariah di Aceh telah mencapai Rp25,12 Triliun, dan sekitar Rp7,01 Triliun disalurkan kepada UMKM (memiliki rasio sebesar 27,93%). Dari sisi jumlah rekening, sekitar 50,39% dari total rekening pembiayaan dimiliki oleh UMKM. Selain itu, bank syariah juga diharapkan dapat mengutamakan akad pembiayaan berbasis bagi hasil, dan memperkuat analisis kemampuan bayar nasabah dalam proses persetujuan pembiayaan.
- Bank syariah juga diharapkan dapat mendukung optimalisasi pengumpulan dana zakat, infaq, sedekah dan wakaf (pada Pasal 15). Lebih jauh lagi, dalam menyusun skema pembiayaan murahnya, bank syariah diharapkan dapat memanfaatkan dukungan dana sosial Islam dimaksud (Pasal 16). Selain itu Qanun ini mengharapkan bank syariah lebih berpartisipasi aktif pada berbagai kegiatan edukasi (Pasal 17), dan memperkuat koordinasi antar bank syariah (Pasal 18).
- Pemerintah ditantang untuk berperan lebih aktif dalam mendorong fungsi dan peran perbankan dalam perekonomian. Contohnya, Pemerintah wajib memfasilitasi Lembaga Keuangan Syariah untuk:
- Berkoordinasi dengan Pemerintah Pusat terkait program pembiayaan,
- Melakukan kerja sama dengan dayah dan masjid
- Pengembangan jaringan kerja sama antar LKS
- Selain itu, Pemerintah Aceh di tingkat provinsi dan kabupaten/kota diharapkan berkontribusi pada pengembangan Lembaga Keuangan Syariah (Pasal 50), dan ikut dalam struktur Dewan Syariah Aceh.
Apabila anda memiliki waktu luang, ada baiknya anda membaca dan mempelajari sendiri isi Qanun Lembaga Keuangan Syariah agar anda memperoleh pemahaman yang lebih detil. Mungkin saja masih terdapat ketidaksempurnaan dalam penyusunan Qanun Lembaga Keuangan Syariah, namun ini lah langkah awal yang harus segera dimulai. Ini lah salah satu bentuk konkrit menjawab harapan terwujudnya tatanan ekonomi yang Islami.
Simpulan
Saya bukan orang Aceh. Namun saya dapat merasakan adanya harapan besar untuk menerapkan prinsip Islam secara menyeluruh di provinsi ini. Saya tidak memiliki latar belakang pendidikan terkait hukum. Namun apakah harus menjadi seorang ahli/pakar hukum untuk hanya sekedar membaca dan memahami esensi pemikiran dari berbagai kutipan pasal yang berperan sebagai landasan yuridis penerbitan Qanun Lembaga Keuangan Syariah?
Dengan sedikit menambah wawasan tentang sejarah Aceh yang banyak menggambarkan tingkat religiusitasnya yang tinggi, diikuti dengan kecintaannya terhadap penerapan syariah Islam yang menyeluruh, maka diskursus mengenai perlu atau tidaknya merevisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah perlu segera disudahi. Sekarang saatnya kita terus berpikir ke depan menyelesaikan berbagai tantangan yang ada dalam mengimplementasikan dan mengoperasionalkan Qanun LKS tersebut. Revisi pada dasarnya boleh saja dilakukan, untuk memeriksa kembali setiap peluang penyempurnaan qanun. Namun review tersebut tentu bukan untuk kembali pada riba yang telah dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Khusus di Aceh, mereview penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah dengan tujuan menghidupkan kembali praktek riba, secara tidak langsung mengabaikan fatwa para alim ulama, kurang memahami alur pikir penerapan syariah di Aceh secara menyeluruh, bahkan mungkin juga mengabaikan ciri khas rakyat Aceh yang sejak dulu telah menjadikan Al Quran dan sunnah sebagai pegangan hidup.
“… Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya (sebuah nasihat atau pelajaran), lalu dia berhenti (tidak lagi memakan riba/berurusan dengan riba), maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi (tetap mempraktekkan riba), maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”-QS Al Baqarah: 275. Wallahu a’lam bisshawab.
