Qanun Lembaga Keuangan Syariah di Tengah Keteladanan dan Mengurai Kekhawatiran

Aceh kembali memberikan teladannya bagi negeri ini terkait dengan penerapan prinsip syariah di tengah masyarakat. Pada tahun 2016, Aceh telah mengawali konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah. Kebijakan ini telah diikuti oleh beberapa pemerintah daerah lainnya, diantaranya Bank NTB. Pada tahun ini, ada dua bank pembangunan daerah yang akan melakukan konversi, yaitu BPD Sumatera Barat dan BPD Kepulauan Riau.

Kali ini, Aceh kembali memberikan teladan terkait penerapan prinsip syariah pada lembaga keuangan melalui penerbitan Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah yang diundangkan pada tanggal 4 Januari 2019. Implementasi Qanun LKS ini diikuti oleh harapan sekaligus kekhawatiran tentang sisi positif/negatifnya terhadap perbankan dan perekonomian. Ada yang sangat khawatir bahwa akan terjadi dinamika terkait dana pihak ketiga dan/atau pembiayaan perbankan di Aceh, dan ada pula yang mengkhawatirkan bahwa implementasi qanun ini akan mengganggu aktivitas ekonomi para pelaku usaha. Oleh karena itu, saya mencoba memberikan sedikit ulasan dalam rangka menanggapi kekhawatiran tersebut, sekaligus menyambut keteladanan Aceh dalam menerapkan prinsip syariah dalam keuangan dan perekonomiannya.

Qanun Lembaga Keuangan Syariah dirancang oleh Pemerintah Aceh, DPR Aceh, Bank Indonesia, OJK, para praktisi, akademisi dan tenaga ahli agar lembaga keuangan yang ada di Aceh dapat menggerakkan perekonomian Aceh secara akseleratif dan inklusif. Pertama, Qanun Lembaga Keuangan Syariah memberikan perhatian penuh kepada para pelaku UMKM di Aceh. Beleid ini mengamanahkan agar rasio pembiayaan perbankan kepada UMKM dapat mencapai hingga 40% secara bertahap. Hal ini dapat meningkatkan peran perbankan dalam perekonomian, terutama bagi para pelaku UMKM. Kegiatan usaha masyarakat Aceh yang mayoritas didominasi oleh UMKM diharapkan dapat berkembang dengan lebih cepat.

Qanun ini secara tidak langsung dapat memperkuat implementasi Peraturan Bank Indonesia No. 17/12/PBI/2015 tanggal 25 Juni 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah, yang menetapkan pembiayaan perbankan kepada UMKM minimal sebesar 20%.

Kedua, Qanun LKS menekankan kepada lembaga keuangan syariah agar dapat memprioritaskan akad berbasis bagi hasil dan pembiayaan produktif. Qanun mengharapkan agar perbankan syariah dapat menggunakan akad pembiayaan berbasis bagi hasil hingga mencapai 40% secara bertahap. Apabila qanun ini dapat didukung dengan baik oleh para praktisi perbankan, diiringi oleh etos kerja yang kuat, literasi tentang ekonomi syariah dan kejujuran yang tinggi, maka diharapkan kegiatan usaha akan berkembang dengan baik, dan pertumbuhan kewirausahaan di Aceh akan mengalami akselerasi yang signifikan. Oleh karena itu, Pemerintah Aceh, regulator, dan praktisi perbankan perlu terus melakukan edukasi dan sosialisasi untuk meningkatkan literasi keuangan syariah masyarakat, terutama para pelaku usaha agar dapat memahami mekanisme dan implementasi skema akad syariah berbasis bagi hasil dengan baik. Seiring dengan hal tersebut, pembinaan dan peningkatan kapasitas terkait entrepreneurship dan halal value chain perlu terus didorong beriringan.

Keempat, secara berimbang, Qanun LKS (Pasal 58) juga menekankan agar para pelaku usaha yang bermitra dengan lembaga keuangan syariah memiliki karakter yang amanah. Bila terjadi kesengajaan dari nasabah untuk melakukan tindakan yang merugikan LKS, maka dapat diberikan sanksi sosial. Pasal ini memberikan keseimbangan agar harapan yang diberikan kepada perbankan/lembaga keuangan syariah untuk mendorong perekonomian Aceh diikuti oleh karakter nasabah yang berintegritas. Dengan demikian, diharapkan kegiatan usaha di Aceh dapat berjalan dengan baik dan harmonis oleh karena terciptanya hubungan kemitraan yang baik antara perbankan dan para nasabahnya.

Apabila yang dikhawatirkan oleh para pelaku usaha adalah dari sisi layanan, maka saat ini, perbankan syariah di Indonesia telah memiliki berbagai fitur yang tidak kalah dengan perbankan konvensional. Beberapa bank syariah telah memiliki produk yang sangat beragam. Untuk corporate, perbankan syariah telah memiliki produk pembiayaan modal kerja dengan beberapa jenis akad, diantaranya musyarakah, mudharabah, bahkan hingga pembiayaan sistem resi gudang. Untuk keperluan komersial, telah tersedia beberapa produk seperti bank garansi, Letter of Credit (LC), Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri (SKBDN), layanan pencairan cek dalam beberapa mata uang asing, hingga variasi pembiayaan seperti pembiayaan investasi/modal kerja yang bersifat revolving/non-revolving, pembiayaan sindikasi, dsb. Bahkan, beberapa bank syariah juga memiliki produk khusus bagi pelaku usaha mikro. Untuk mendukung institusi pendidikan dan perusahaan berskala menengah/besar, beberapa bank syariah juga dapat menyediakan layanan multi payment yang memudahkan. Pelayanan terkait kebutuhan dana valuta asing/transaksi foreign exchange juga telah disediakan oleh beberapa bank syariah. Lebih jauh lagi, beberapa bank syariah telah memiliki layanan treasury (sebagai bank custodian, wali amanat, dsb).  Untuk keperluan konsumtif, ada pula bank syariah yang telah menerbitkan kartu pembiayaan (kartu kredit), dan kartu debit di beberapa bank syariah memiliki logo Master Card yang memudahkan saat kita bertransaksi di luar negeri. Oleh karena itu, kekhawatiran bahwa kegiatan usaha akan terhambat oleh karena pemberlakuan Qanun LKS dirasa kurang tepat. Kekhawatiran ini perlahan akan memudar seiring dengan peningkatan pemahaman terhadap akad dan produk perbankan syariah.

Lalu bagaimana dengan isu mengenai uang keluar dari Aceh? Untuk menjawab isu ini, kita akan membahas bagaimana posisi DPK dan pembiayaan di Aceh dengan batasan periode Januari 2019 s.d. Juni 2020.

Pada Januari 2019, total Dana Pihak Ketiga di Aceh sebesar Rp38,64 Triliun (dengan 6.040.875 jumlah rekening), yang terdiri dari perbankan konvensional Rp18,01 Triliun (dengan 3.958.656 rekening), dan perbankan syariah Rp20,63 Triliun (dengan 2.082.210 rekening). Pada Juni 2020, total Dana Pihak Ketiga sebesar Rp40,23 Triliun (dengan 6.766.981 rekening), yang terdiri dari perbankan konvensional Rp10,84 Triliun (dengan 4.319.431 rekening), dan perbankan syariah Rp29,39 Triliun (dengan 2.447.550 rekening).Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pasca pemberlakuan Qanun LKS, nilai nominal Dana Pihak Ketiga di Aceh tetap terjaga dengan stabil. Sepanjang Januari 2019 s.d Juni 2020, rata-rata DPK sebesar Rp39,53 Triliun, dan pada Juni 2020 sebesar Rp40,23 Triliun (nominal DPK di bulan Juni 2020 masih berada di atas rata-rata).

Dari sisi jumlah rekening DPK, perbankan konvensional dan perbankan syariah masih sama-sama mengalami pertumbuhan. Sepanjang Januari 2019 s.d. Juni 2020, rata-rata pertumbuhan bulanan (month to month), perbankan konvensional dan syariah masing-masing sebesar 0,52% dan 0,96%. Secara year on year (Juni 2019 dibandingkan Juni 2020), pertumbuhan jumlah rekening perbankan konvensional sebesar 4,22%, dan perbankan syariah 14,11%.

Dari sisi pembiayaan, pada Januari 2019, total pembiayaan di Aceh sebesar Rp36,64 Triliun (dengan 454.293 jumlah rekening), yang terdiri dari perbankan konvensional Rp20,05 Triliun (dengan 265.850 rekening), dan perbankan syariah Rp16,58 Triliun (dengan 189.073 rekening). Pada Juni 2020, total Dana Pihak Ketiga sebesar Rp37,66 Triliun (dengan 451.705 rekening), yang terdiri dari perbankan konvensional Rp12,53 Triliun (dengan 136.393 rekening), dan perbankan syariah Rp25,12 Triliun (dengan 315.312 rekening). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pasca pemberlakuan Qanun LKS, nilai nominal pembiayaan di Aceh tetap terjaga dengan stabil. Sepanjang Januari 2019 s.d Juni 2020, rata-rata pembiayaan sebesar Rp37,10 Triliun, dan pada Juni 2020 sebesar Rp37,66 Triliun (pembiayaan di bulan Juni 2020 masih berada di atas rata-rata).

Dari sisi jumlah rekening pembiayaan, sepanjang Januari 2019 s.d. Juni 2020, rata-rata pertumbuhan bulanan (month to month) perbankan konvensional tumbuh negatif sebesar -3,51%, sedangkan perbankan syariah tumbuh positif sebesar 3,29%. Secara year on year (Juni 2019 dibandingkan Juni 2020), pertumbuhan jumlah rekening perbankan konvensional tumbuh negatif sebesar -49,42%, dan perbankan syariah tumbuh positif sebesar 76,23%.

Data perbankan ini saya rasa cukup untuk lebih mendukung optimisme dibandingkan dengan kekhawatiran yang belum saatnya. Data tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Aceh dan juga lembaga keuangan sama-sama menyambut qanun ini dengan positif. Hingga saat ini, kami belum mendengar adanya perbankan konvensional yang menolak, bahkan sebaliknya, diantara mereka telah mempersiapkan proses penyesuaian sejak 2019.

Namun semua kembali kepada kita, kembali bagaimana pemahaman dan keyakinan kita terhadap riba, baik dari sisi keimanan, maupun dari sisi keilmuan, yang kami yakini senantiasa berjalan beriringan. Apabila kita mengharapkan ridha dan berkah Allah SWT, maka tentu mendukung pelaksanaan syariah Islam adalah salah satu jalan yang perlu diupayakan, meski ada tantangan dan ketidaksempurnaan, namun wajib untuk terus diperjuangkan dan dilaksanakan dengan niat yang benar dan lurus.

Aceh sudah menjadi teladan dengan urusan jinayah (pidana) melalui terbitnya Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, sudah pula menerbitkan Qanun No. 8 tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal, kini saatnya menuju selangkah lagi dalam mewujudkan lembaga keuangan di Aceh yang juga wajib segera dihalalkan. Dalam urusan Qanun LKS, maka semakin cepat semakin baik, mengingat menghindari riba memang diikatkan pada keimanan. “Perlahan-lahan dalam segala sesuatu itu baik, kecuali dalam perbuatan yang berkenaan dengan akhirat.” (H.R. Abu Dawud, Baihaqi dan Hakim). Namun dari sisi persiapan dan pelaksanaan Qanun LKS, tentu semua harus dipersiapkan dengan professional, dan regulator telah menilai bahwa waktu yang diberikan dirasa cukup.

Bagaimana pun, proses penyusunan Qanun ini telah dimulai sejak 2015, dan pada akhirnya difinalisasi pada tahun 2019. Harapan yang dinantikan untuk menjadikan tatanan perekonomian Aceh yang islami dan kaffah telah coba diwujudkan. Namun apabila di dalam prosesnya memerlukan penyempurnaan, ini merupakan bagian dari perjalanan dakwah yang memang identic dengan tantangan dan tahapan. Yang harus diyakini hanya satu: Qanun Lembaga Keuangan Syariah adalah upaya untuk menyempurnakan Islam di Bumi Serambi Mekkah ini, yang kelak diharapkan dapat menjadi teladan bagi Indonesia.

Di akhir tulisan ini, saya berharap semoga kita dapat menjadi bagian dari perjuangan implementasi Qanun LKS ini, dan bukan sebaliknya. “Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk.” (Q.S. Az-Zukhruf (43): 37). Wallahu a’lam bisshawab.

Qanun Lembaga Keuangan Syariah di Tengah Keteladanan dan Menjawab Kekhawatiran

Published by Yason Taufik Akbar

Family, Books, and Guitar...

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: